Tuesday 31 May 2016

Reinkarnasi lima kali



Setidaknya aku harus reinkarnasi sekurang-kurangnya lima kali untuk akhirnya terlahir menjadi manusia. Sebenarnya tidak lima kali, bisa dibilang cuma empat  kali. Karena pada kehidupanku yang kedua aku hanya menjadi larva lebah yang hidupku cuma tujuh menit dalam ukuran waktu manusia. Aku tidak ingat banyak tentang reinkarnasiku yang kedua itu, yang aku ingat hanya tiba-tiba aku sesak nafas lalu mati. Sudah begitu saja kehidupanku yang satu itu. Payah sekali! Aku juga pernah menjadi seekor gajah. Tapi pada kehidupanku yang menjadi gajah itu, hidupku juga tak jauh-jauh dari kemalangan. Ketika aku menjadi anak gajah dahulu, aku ingat hutan tempat tinggalku dibakar habis oleh manusia. Sampai sekarang pun aku masih ingat perasaan ketakutan yang mencekam pada waktu itu. Kepulan asap hitam meneror dimana-mana, api yang menyala-nyala dan lolongan binatang yang terpanggang. Pada saat itu aku benci sekali dengan manusia. Tapi bagaikan sebuah paradoks karma, pada akhirnya aku terlahir juga menjadi manusia.

Tidak semua kehidupanku berakhir dengan tragis. Ada kala pada suatu ketika aku menjadi seekor burung laut Sterna paradisea. Pekerjaan hidupku hanya melayang-layang diantara perairan laut Bering. Menyenangkan sekali rasanya. Pada sore hari, setelah lelah seharian berburu ikan sardin, aku biasanya terbang santai mengikuti arah angin. Semburat pucat kemerahan terlihat di cakrawala langit barat, dan gelimang berlian memantul-mantul di laut membentuk perpaduan yang melankoli --bahkan untuk seekor burung sepertiku. Tak jarang kawananku merayakannya dengan berkoak-koak. Dan pada malam hari diatap langit terdapat seluruh jagat raya yang berpendar diantara kekosongan angkasa. namun di semesta ini tidak ada yang kekal. Pada akhirnya aku pun meninggal juga. Suatu ketika, saat musim dingin sedang jatuh di belahan bumi utara, aku dan kawananku bergerak ke selatan untuk mencari tempat yang lebih hangat. Ini adalah ritual tahunan kami, terbang bergerombol untuk mencari tempat yang hangat. Biasanya kami akan singgah di perairan dekat kepulauan Galapagos untuk beberapa bulan, lalu kembali lagi ke perairan laut Bering. Saat kawananku terbang ke selatan, di tengah-tengah samudra pasifik aku melihat banyak sekali ikan mengapung-apung di lautan. Karena lapar dan kelelahan, aku dan kawananku langsung bergegas turun dan menyantap hidangan mudah itu. Ikan-ikan itu sudah mati. Atau aku pikir begitu. Namun setelah kawananku menukik dan melahap ikan-ikan tersebut baru kami tahu bahwa yang kami makan bukanlah ikan, namun sekumpulan sampah plastik yang terapung di tengah lautan. Banyak dari kawanan kami akirnya mati karena tercekik. Begitu halnya dengan akhir dari kehidupanku yang satu itu.

Saat aku muda dulu, aku pernah bekerja menjadi seorang buruh di sebuah perusahaan minyak kelapa sawit. Setiap hari rasanya sama saja, melewati lima persimpangan dan empat belas tikungan untuk mencapai ke tempatku bekerja. Jika beruntung, pada suatu pagi yang mujur, kau bisa melewati kelima lampu lalu lintas itu saat keadaan lampu hijau. Jadi kau bisa langsung saja mengebut tanpa harus berhenti. Rasanya aku seperti Sisyphus yang dikutuk dewa-dewi Yunani. Satu-satunya hal yang dapat kunikmati adalah dipenghujung hari aku bisa mampir ke pasar dekat rumahku untuk membeli ikan sardin. Karena tiap kali aku makan ikan sardin aku ingat tentang hari-hariku semasa hidup menjadi burung laut. Tentang pulau-pulau yang hangat di Galapagos selama musim migrasi, dan juga kota-kota di Eropa utara yang penduduknya kerapkali memberi remah roti. Oh ya, kalau kau juga pertamakalinya menjadi manusia sepertiku jangan kaget kalau kau harus membayar apa-apa dengan uang. Itu lho, benda kecil yang terbuat dari kertas. Dan untuk mendapatkannya kau harus bekerja. Maksutku, ini cukup gila kan? Di masa-masa hidupku sebelumnya semuanya sudah ada di alam raya ini. Tapi ketika kau menjadi manusia, kau harus membayarnya! Selama masa hidupku, aku rasa hanya manusia saja yang melakukan hal ini. Lalu, jika kau punya kertas ini dalam jumlah yang banyak kau bisa bertindak semau-maunya. Pernah suatu ketika aku tidak sengaja melihat bosku berbicara dengan dewa hutan, katanya dia mau membeli hutan.

“aku ingin membeli hutan” ujarnya.
“kau mau membeli hutan dariku?” kata dewa itu.

Dewa itu tak ubahnya seperti manusia biasa, menggunakan setelan jas dan sebagainya. Tapi aku tahu jika dia itu dewa hutan, atau setidaknya aku pikir begitu. Dari lagak pembicaraannya dia seperti penguasa yang punya hutan.

“ya, sepetak saja.”
”hal itu bisa diatur” ujar dewa hutan.

Lalu bosku menyodorkan satu koper berisi kertas-kertas itu. Mirip apa yang aku lihat di film-film mafia. Mereka tertawa-tawa, dewa hutan itu lalu berjalan keluar dengan wajah yang ceria dan perut yang melambung. Setelah bosku puas tertawa-tawa, ia kemudian langsung menemuiku dan meyuruhku untuk menyiapkan jirigen minyak yang sangat besar. Besoknya, aku melihat berita di televisi tentang bencana kabut asap dimana-mana. Aku terheran sekali karena bahkan seorang dewa hutan pun dapat menurut jika kau membawa segepok kertas-kertas tersebut.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku saat itu dan berganti menjadi buruh di sebuah galangan kapal. Ya, aku pikir hal terburuk apa yang bisa terjadi disini? Pekerjaannya hanya mengangkut muatan yang ada dalam kapal. Pada minggu-minggu pertama aku bekerja, semuanya berjalan dengan lancar. Sampai pada suatu ketika aku mendengar percakapan bosku dengan seorang dewa laut. Sama seperti dewa hutan, dewa laut ini terlihat seperti manusia biasa saja. Hanya saja yang membedakan adalah lagaknya yang seolah-olah mempunyai seluruh penjuru laut.

“aku ingin membeli laut” ujar bosku.
“kau mau membeli laut dariku?” kata dewa itu.
“ya, setidaknya ijinkan aku untuk membuang muatan yang tidak perlu kedalam laut”.

Lalu bosku menyodorkan satu koper berisi kertas-kertas yang sama. Mirip seperti yang dilakukan bosku sebelumnya saat aku bekerja di perusahaan kelapa sawit. Mereka tertawa-tawa, dewa laut itu lalu berjalan keluar dengan wajah yang ceria dan perut yang melambung. Setelah bosku puas tertawa-tawa, ia kemudian langsung menemuiku dan meyuruhku untuk membuang sisa-sisa limbah plastik ke laut lepas. Besoknya, aku membaca berita di koran tentang pencemaran limbah di laut.


Pada saat itu aku tersadar, bahwa ternyata yang membunuh kehidupanku sebelumnya adalah diriku sendiri.
/pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js">

1 comment: