Setidaknya
aku harus reinkarnasi sekurang-kurangnya lima kali untuk akhirnya terlahir
menjadi manusia. Sebenarnya tidak lima kali, bisa dibilang cuma empat kali. Karena pada kehidupanku yang kedua aku
hanya menjadi larva lebah
yang hidupku cuma tujuh menit dalam ukuran waktu manusia. Aku tidak ingat
banyak tentang reinkarnasiku yang kedua itu, yang aku ingat hanya
tiba-tiba aku sesak nafas lalu mati. Sudah begitu saja kehidupanku yang satu
itu. Payah sekali! Aku juga pernah menjadi seekor gajah. Tapi pada kehidupanku
yang menjadi gajah itu, hidupku
juga tak jauh-jauh dari kemalangan.
Ketika aku menjadi anak gajah dahulu, aku ingat hutan tempat tinggalku dibakar
habis oleh manusia. Sampai sekarang pun aku masih ingat perasaan ketakutan yang
mencekam pada waktu itu. Kepulan asap hitam meneror dimana-mana, api yang
menyala-nyala dan lolongan binatang yang terpanggang. Pada
saat itu aku benci sekali dengan manusia. Tapi bagaikan sebuah paradoks karma, pada
akhirnya aku terlahir juga menjadi manusia.
Tidak
semua kehidupanku berakhir dengan tragis. Ada kala pada suatu ketika aku
menjadi seekor burung laut Sterna
paradisea. Pekerjaan hidupku hanya melayang-layang diantara perairan laut Bering.
Menyenangkan sekali rasanya. Pada sore hari, setelah lelah seharian berburu
ikan sardin, aku biasanya terbang santai mengikuti arah angin. Semburat pucat
kemerahan terlihat di cakrawala langit barat, dan gelimang berlian
memantul-mantul di laut membentuk perpaduan yang melankoli --bahkan untuk
seekor burung sepertiku. Tak jarang kawananku merayakannya dengan berkoak-koak.
Dan pada malam hari diatap langit terdapat seluruh jagat raya yang berpendar
diantara kekosongan angkasa. namun
di semesta ini tidak ada yang kekal. Pada akhirnya aku pun meninggal juga. Suatu
ketika, saat musim dingin sedang jatuh di belahan bumi utara, aku dan kawananku
bergerak ke selatan untuk mencari tempat yang lebih hangat. Ini adalah ritual
tahunan kami, terbang bergerombol untuk mencari tempat yang hangat. Biasanya
kami akan singgah di perairan dekat kepulauan Galapagos untuk beberapa bulan,
lalu kembali lagi ke perairan laut Bering. Saat kawananku terbang ke selatan,
di tengah-tengah samudra pasifik aku melihat banyak sekali ikan mengapung-apung
di lautan. Karena lapar dan kelelahan, aku dan kawananku langsung bergegas
turun dan menyantap hidangan mudah itu. Ikan-ikan itu sudah mati. Atau aku pikir begitu. Namun setelah kawananku menukik
dan melahap ikan-ikan tersebut baru kami tahu bahwa yang kami makan bukanlah
ikan, namun sekumpulan sampah plastik yang terapung di tengah lautan. Banyak
dari kawanan kami akirnya mati karena tercekik. Begitu halnya dengan akhir dari
kehidupanku yang satu itu.
Saat aku muda dulu, aku pernah
bekerja menjadi seorang buruh di
sebuah perusahaan minyak
kelapa sawit. Setiap hari
rasanya sama saja, melewati lima persimpangan dan empat belas tikungan untuk
mencapai ke tempatku bekerja. Jika beruntung, pada suatu pagi yang mujur, kau
bisa melewati kelima lampu lalu lintas itu saat keadaan lampu hijau. Jadi kau
bisa langsung saja mengebut tanpa harus berhenti. Rasanya aku seperti Sisyphus
yang dikutuk dewa-dewi Yunani. Satu-satunya hal yang dapat kunikmati adalah
dipenghujung hari aku bisa mampir ke pasar dekat rumahku untuk membeli ikan
sardin. Karena
tiap kali aku makan ikan sardin aku ingat tentang hari-hariku semasa hidup
menjadi burung laut. Tentang pulau-pulau yang hangat di Galapagos selama musim
migrasi, dan juga kota-kota di Eropa utara yang penduduknya kerapkali memberi
remah roti. Oh
ya, kalau kau juga pertamakalinya menjadi manusia sepertiku jangan kaget kalau
kau harus membayar apa-apa dengan uang. Itu lho, benda kecil yang terbuat dari
kertas. Dan untuk mendapatkannya kau harus bekerja. Maksutku, ini cukup gila
kan? Di masa-masa hidupku sebelumnya semuanya sudah ada di alam raya ini. Tapi
ketika kau menjadi manusia, kau harus membayarnya! Selama masa hidupku, aku
rasa hanya manusia saja yang melakukan hal ini. Lalu, jika kau punya kertas ini dalam jumlah yang
banyak kau bisa bertindak semau-maunya. Pernah suatu ketika aku tidak sengaja
melihat bosku berbicara dengan dewa hutan, katanya dia mau membeli hutan.
“aku ingin membeli hutan” ujarnya.
“kau mau membeli hutan dariku?” kata dewa itu.
Dewa itu tak ubahnya seperti manusia biasa,
menggunakan setelan jas dan sebagainya. Tapi aku tahu jika dia itu dewa hutan,
atau setidaknya aku pikir begitu. Dari lagak pembicaraannya dia seperti
penguasa yang punya hutan.
“ya, sepetak saja.”
”hal itu bisa diatur” ujar dewa hutan.
Lalu bosku menyodorkan satu koper berisi kertas-kertas
itu. Mirip apa yang aku lihat di film-film mafia. Mereka tertawa-tawa, dewa
hutan itu lalu berjalan keluar dengan wajah yang ceria dan perut yang
melambung. Setelah bosku puas tertawa-tawa, ia kemudian langsung menemuiku dan
meyuruhku untuk menyiapkan jirigen minyak yang sangat besar. Besoknya, aku
melihat berita di televisi tentang bencana kabut asap dimana-mana. Aku terheran
sekali karena bahkan seorang dewa hutan pun dapat menurut jika kau membawa
segepok kertas-kertas tersebut.
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, aku
memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku saat itu dan berganti menjadi buruh di
sebuah galangan kapal. Ya, aku pikir hal terburuk apa yang bisa terjadi disini?
Pekerjaannya hanya mengangkut muatan yang ada dalam kapal. Pada minggu-minggu
pertama aku bekerja, semuanya berjalan dengan lancar. Sampai pada suatu ketika
aku mendengar percakapan bosku dengan seorang dewa laut. Sama seperti dewa
hutan, dewa laut ini terlihat seperti manusia biasa saja. Hanya saja yang
membedakan adalah lagaknya yang seolah-olah mempunyai seluruh penjuru laut.
“aku ingin membeli laut” ujar bosku.
“kau mau membeli laut dariku?” kata dewa itu.
“ya, setidaknya ijinkan aku untuk membuang muatan yang
tidak perlu kedalam laut”.
Lalu bosku menyodorkan satu koper berisi kertas-kertas
yang sama. Mirip seperti yang dilakukan bosku sebelumnya saat aku bekerja di perusahaan
kelapa sawit. Mereka tertawa-tawa, dewa laut itu lalu berjalan keluar dengan
wajah yang ceria dan perut yang melambung. Setelah bosku puas tertawa-tawa, ia
kemudian langsung menemuiku dan meyuruhku untuk membuang sisa-sisa limbah plastik
ke laut lepas. Besoknya, aku membaca berita di koran tentang pencemaran limbah
di laut.
Pada saat itu aku tersadar, bahwa ternyata yang
membunuh kehidupanku sebelumnya adalah diriku sendiri.
☀️
ReplyDelete