Monday, 4 September 2017

Untilted sad poem

Dalam lautan kekosongan dan pikiran yang berkecamuk,
sebuah tanya melingkar mencari makna.

Mengenai siluet dari lorong-lorong yang mendadak menjadi bisu.

lalu bisik-bisik menyebar dari seluruh penjuru, mengenai nama yang sudah lama mereka ketahui.

tentang mata yang lelah,
dan senyum yang kian memudar.
dan cerita-cerita yang berujung kesedihan.

sebuah potret melankoli yang menjadi sebuah estetika.

namun benak hanya mampu mengintip dari ujung dunia.
diam terkesima oleh karya surga yang kulihat pada seorang hawa.


Monday, 11 July 2016

Untuk apa seni?



Mungkin bisa dibilang adalah suatu kemutlakan bahwa semua orang menyukai cerita mengenai kepahlawanan. Sedari kecil, seringkali kita mengkonsumsi kisah-kisah mengenai superhero yang menyelamatkan dunia. Sebagian besar  dari kisah-kisah tersebut pada akhirnya berakhir dengan kemenangan tokoh protagonis yang berhasil mengubah dunia dan kemudian mendapat puja-puja. Seru dan menghibur. Mungkin banyak juga dari kita pada awal-awal masa kehidupan, sebisa mungkin menjadi pahlawan dan menyelamatkan dunia seperti apa yang diceritakan di kisah-kisah tersebut. Namun mungkin konsep “pahlawan” dalam dunia nyata tidak seekstrim menjadi seorang superhero.

Beberapa waktu yang lalu, aku bercakap-cakap (virtually) dengan seorang kenalan yang berkuliah di jurusan desain produk di salah satu kampus ternama di Surabaya. Ia berkata bahwa sedari kecil ia bercita-cita menjadi pahlawan seperti power ranger dan bertujuan untuk mengubah dunia. Ia sering berkhayal suatu saat nanti akan mempelajari sains kemudian jadi ilmuan dan menciptakan berbagai hal (semacam alat teleport dll) yg kelak akan mempermudah kehidupan manusia di bumi. Dan singkat cerita entah bagaimana, sekarang ia malah menggeluti dunia seni dan desain. Bagaimana bisa mengubah kehidupan manusia dengan hanya sebuah seni dan desain? Apa bisa mengurangi kemiskinan dengan seni? Atau mencegah korban bencana alam dengan seni? Bagaimana sebuah seni  dan desain bisa memperbaiki keadaan di dunia ini sekarang?

***

Pada suatu ketika, ada kala dimasa aku ingin menjadi seseorang seperti Mahatma Ghandi. ya tapi memang sepertinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dulu, ketika semester 3 atau 4 (aku lupa persisnya) aku mendapat mata kuliah cultural studies. pada mata kuliah tersebut ada pemikiran dekonstruksi dari Jaquest Derrida seorang filsuf perancis. Dari situ kita diajarkan bagaimana sebenarnya dunia ini timpang tindih sekali. Kita hidup di dunia yang tidak sepenuhnya baik. Apa yang dianggap buruk namun mempunyai komoditas yang tinggi akan terus diakal-akali agar pada akhirnya terlihat baik. Ilmu-ilmu yang kau dapat dari mata pelajaran PKN saat kau duduk di bangku sekolah mungkin bisa saja bertolak belakang dengan realita yang kaudapat. Batas-batas kode moral dan etika antara baik dan buruk bisa menjadi sangat bias. Pada setiap multinational corporate yang besar pasti juga ada jutaan buruh yang sengsara. kau tahu maksutku kan? kau tidak akan bisa menyenangkan orang banyak. Maksutku, akan selalu ada pihak yang akan dirugikan, bagaimanapun itu caranya. Hal itu mengganggu pikiranku sekali, karena aku melihat banyak sekali ketidak adilan. aku mulai melihat dunia ini seperti diakali cukong-cukong serakah yang terus memeras keringat kuli-kuli legam. Dulu itu setiap melihat orang-orang jalanan atau orang miskin, rasanya aku ada beban untuk harus mengubah nasib mereka. seperti iba atas penderitaannya tapi juga tak bisa berbuat banyak. Menjadi "pembela kebenaran" itu sebenarnya juga tidak gampang. hidupmu akan penuh dengan bahaya karena musuhmu juga banyak. saat itu aku kebingunan sekali dengan kondisi seperti itu, tapi ada quote yang kala itu aku tau dari film “It’s kind of funny story” yang menyatakan seperti ini:

God, grant me the serenity to accept the things I cannot change,
and the courage to change the things I can.”

Jadi, aku pikir dalam merubah dunia, mungkin kita harus merubah hal-hal yang bisa kita rubah seperti diri sendiri. setidaknya kita tahu mana yang benar atau mana yang salah dan sebisa mungkin untuk tidak merugikan orang lain.

Sains, kedokteran, hukum, ekonomi adalah hal yang penting untuk menyokong kehidupan manusia. tapi untuk mengingatkan kembali bahwa kita ini manusia, kita butuh seni. dan hal itu menurutku sangat krusial, karena sekarang ini banyak sekali orang-orang yang lupa kalau dirinya cuma manusia.

Introvert

As a social creature, we crave connection with other people in order to be living. Or in other words, having interaction with people is a basic need of human being.

I love socializing and I don’t have any problem with it. Meeting with people is fun, but yet, it is exhausting. And in the end of the day, I just want to be left alone in my quiet dark room with no one but my thoughts in order to regain energy.

This past weeks has been really exhausting for me. With all the hurly-burly “lebaran” thing; family gathering, kids whining, babies crying, visiting relative, halal-bi-halal with some close friend etc etc. I know it’s good to have them in my life. but people are draining me up, and when my energy is really low, I really-really need some time alone. And if I don’t have a decent some time alone, I can get pretty upset and it can put me in a bad mood. I can’t function well with too many people around. I feel as if myself is slowly dissolve by this noisy world with its gazzilion people on it, and to regain my sanity back, I have to get away from all of this by creating world of my own inside my head.

I’ve known enough people around me, I want get to know myself better.



Tuesday, 31 May 2016

Reinkarnasi lima kali



Setidaknya aku harus reinkarnasi sekurang-kurangnya lima kali untuk akhirnya terlahir menjadi manusia. Sebenarnya tidak lima kali, bisa dibilang cuma empat  kali. Karena pada kehidupanku yang kedua aku hanya menjadi larva lebah yang hidupku cuma tujuh menit dalam ukuran waktu manusia. Aku tidak ingat banyak tentang reinkarnasiku yang kedua itu, yang aku ingat hanya tiba-tiba aku sesak nafas lalu mati. Sudah begitu saja kehidupanku yang satu itu. Payah sekali! Aku juga pernah menjadi seekor gajah. Tapi pada kehidupanku yang menjadi gajah itu, hidupku juga tak jauh-jauh dari kemalangan. Ketika aku menjadi anak gajah dahulu, aku ingat hutan tempat tinggalku dibakar habis oleh manusia. Sampai sekarang pun aku masih ingat perasaan ketakutan yang mencekam pada waktu itu. Kepulan asap hitam meneror dimana-mana, api yang menyala-nyala dan lolongan binatang yang terpanggang. Pada saat itu aku benci sekali dengan manusia. Tapi bagaikan sebuah paradoks karma, pada akhirnya aku terlahir juga menjadi manusia.

Tidak semua kehidupanku berakhir dengan tragis. Ada kala pada suatu ketika aku menjadi seekor burung laut Sterna paradisea. Pekerjaan hidupku hanya melayang-layang diantara perairan laut Bering. Menyenangkan sekali rasanya. Pada sore hari, setelah lelah seharian berburu ikan sardin, aku biasanya terbang santai mengikuti arah angin. Semburat pucat kemerahan terlihat di cakrawala langit barat, dan gelimang berlian memantul-mantul di laut membentuk perpaduan yang melankoli --bahkan untuk seekor burung sepertiku. Tak jarang kawananku merayakannya dengan berkoak-koak. Dan pada malam hari diatap langit terdapat seluruh jagat raya yang berpendar diantara kekosongan angkasa. namun di semesta ini tidak ada yang kekal. Pada akhirnya aku pun meninggal juga. Suatu ketika, saat musim dingin sedang jatuh di belahan bumi utara, aku dan kawananku bergerak ke selatan untuk mencari tempat yang lebih hangat. Ini adalah ritual tahunan kami, terbang bergerombol untuk mencari tempat yang hangat. Biasanya kami akan singgah di perairan dekat kepulauan Galapagos untuk beberapa bulan, lalu kembali lagi ke perairan laut Bering. Saat kawananku terbang ke selatan, di tengah-tengah samudra pasifik aku melihat banyak sekali ikan mengapung-apung di lautan. Karena lapar dan kelelahan, aku dan kawananku langsung bergegas turun dan menyantap hidangan mudah itu. Ikan-ikan itu sudah mati. Atau aku pikir begitu. Namun setelah kawananku menukik dan melahap ikan-ikan tersebut baru kami tahu bahwa yang kami makan bukanlah ikan, namun sekumpulan sampah plastik yang terapung di tengah lautan. Banyak dari kawanan kami akirnya mati karena tercekik. Begitu halnya dengan akhir dari kehidupanku yang satu itu.

Saat aku muda dulu, aku pernah bekerja menjadi seorang buruh di sebuah perusahaan minyak kelapa sawit. Setiap hari rasanya sama saja, melewati lima persimpangan dan empat belas tikungan untuk mencapai ke tempatku bekerja. Jika beruntung, pada suatu pagi yang mujur, kau bisa melewati kelima lampu lalu lintas itu saat keadaan lampu hijau. Jadi kau bisa langsung saja mengebut tanpa harus berhenti. Rasanya aku seperti Sisyphus yang dikutuk dewa-dewi Yunani. Satu-satunya hal yang dapat kunikmati adalah dipenghujung hari aku bisa mampir ke pasar dekat rumahku untuk membeli ikan sardin. Karena tiap kali aku makan ikan sardin aku ingat tentang hari-hariku semasa hidup menjadi burung laut. Tentang pulau-pulau yang hangat di Galapagos selama musim migrasi, dan juga kota-kota di Eropa utara yang penduduknya kerapkali memberi remah roti. Oh ya, kalau kau juga pertamakalinya menjadi manusia sepertiku jangan kaget kalau kau harus membayar apa-apa dengan uang. Itu lho, benda kecil yang terbuat dari kertas. Dan untuk mendapatkannya kau harus bekerja. Maksutku, ini cukup gila kan? Di masa-masa hidupku sebelumnya semuanya sudah ada di alam raya ini. Tapi ketika kau menjadi manusia, kau harus membayarnya! Selama masa hidupku, aku rasa hanya manusia saja yang melakukan hal ini. Lalu, jika kau punya kertas ini dalam jumlah yang banyak kau bisa bertindak semau-maunya. Pernah suatu ketika aku tidak sengaja melihat bosku berbicara dengan dewa hutan, katanya dia mau membeli hutan.

“aku ingin membeli hutan” ujarnya.
“kau mau membeli hutan dariku?” kata dewa itu.

Dewa itu tak ubahnya seperti manusia biasa, menggunakan setelan jas dan sebagainya. Tapi aku tahu jika dia itu dewa hutan, atau setidaknya aku pikir begitu. Dari lagak pembicaraannya dia seperti penguasa yang punya hutan.

“ya, sepetak saja.”
”hal itu bisa diatur” ujar dewa hutan.

Lalu bosku menyodorkan satu koper berisi kertas-kertas itu. Mirip apa yang aku lihat di film-film mafia. Mereka tertawa-tawa, dewa hutan itu lalu berjalan keluar dengan wajah yang ceria dan perut yang melambung. Setelah bosku puas tertawa-tawa, ia kemudian langsung menemuiku dan meyuruhku untuk menyiapkan jirigen minyak yang sangat besar. Besoknya, aku melihat berita di televisi tentang bencana kabut asap dimana-mana. Aku terheran sekali karena bahkan seorang dewa hutan pun dapat menurut jika kau membawa segepok kertas-kertas tersebut.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku saat itu dan berganti menjadi buruh di sebuah galangan kapal. Ya, aku pikir hal terburuk apa yang bisa terjadi disini? Pekerjaannya hanya mengangkut muatan yang ada dalam kapal. Pada minggu-minggu pertama aku bekerja, semuanya berjalan dengan lancar. Sampai pada suatu ketika aku mendengar percakapan bosku dengan seorang dewa laut. Sama seperti dewa hutan, dewa laut ini terlihat seperti manusia biasa saja. Hanya saja yang membedakan adalah lagaknya yang seolah-olah mempunyai seluruh penjuru laut.

“aku ingin membeli laut” ujar bosku.
“kau mau membeli laut dariku?” kata dewa itu.
“ya, setidaknya ijinkan aku untuk membuang muatan yang tidak perlu kedalam laut”.

Lalu bosku menyodorkan satu koper berisi kertas-kertas yang sama. Mirip seperti yang dilakukan bosku sebelumnya saat aku bekerja di perusahaan kelapa sawit. Mereka tertawa-tawa, dewa laut itu lalu berjalan keluar dengan wajah yang ceria dan perut yang melambung. Setelah bosku puas tertawa-tawa, ia kemudian langsung menemuiku dan meyuruhku untuk membuang sisa-sisa limbah plastik ke laut lepas. Besoknya, aku membaca berita di koran tentang pencemaran limbah di laut.


Pada saat itu aku tersadar, bahwa ternyata yang membunuh kehidupanku sebelumnya adalah diriku sendiri.

Tuesday, 8 March 2016

Kintsugi : Embracing Imperfection




I believe, in the journey throughout early adulthood, we have to be lost and died at some point. Well, it is of course, figuratively. Every children, begin with an innocence sense of wonder, a capacity to experience total joy at something. But as they grow older, they see about the ugly truth of reality. At this point, we may encounter a misfortune. How well we carefully craft our life, at one point, misfortune could happen. By the means of misfortune, It could be failures, heartbreaks, hopelessness, rejections or disappointments. Name it, everyone has their own version of themselves. But one thing is certain ; One’s who are love with or by someone, have to be dealing with the grief of losing. One’s who have a dream may encounter with failure. Love and grief, dream and failure, consequence and regret. one cannot stand without the other as if there will be no rain without sunshine, and that is, sadly, the undeniable part of life.
In the most desperate hours, we might be devastated about what had happened. But in the moment of dissolution we might turn our mind into concept from ancient Japanese term, Kintsugi. Kintsugi (n) “to repair with gold” ; the art of repairing pottery with gold or silver lacquer. Rather than dispose the broken pottery, they tend to fix it, understanding that the piece is more beautiful for having been broken. The idea is not to hide the damage, but to emphasized on it, embrace it by something that is more beautiful. In real life, sometimes life is not like what we thought it would be.  As modern society is unforgiving about imperfection, we sometimes go hard to ourselves. But, rather than grieving and blaming ourselves about what had happened, we might as well has to be embracing the imperfection of life. Accepting that we have flaws, accepting that we are a human being, accepting that we make mistakes. But I believe the pain we endure during hard time is not a curse, rather, it’s a gift. By dealing with failure, we might as well learn about how to get up. Heartbreaks might be as well a lesson to teach us about acceptance, and rejections might be as well a sign for new opportunities. After the hard times is upon as, we might as well gifted with the new way of seeing life differently. As if the sun come up upon the horizon after a long winter night, we have been, --figuratively, born once again. We upgrade ourselves through the scattered broken pieces, gather it together, and make it’s own meaning with something that is more beautiful than before.


Sunday, 6 March 2016

Divorce Paper




We were once Hiroshima and Nagasaki.
A havoc wreck of unfortunate destiny.
But beyond desperation and the grief that shouldn’t be,
There’s a wisdom in the place most unlikely;

There’s the time when the last light of Eden fading out of sight.
The days of grey skies march forward in and nothing feels alright.
And then mortal will enslaved by it’s own mind in the horror of the night
In the combat between dark and bright side of the light.

Along with Phoenix reborn from it’s ash
Redeem thy soul by mercy on every clash
Put aside scars and throw it into trash
In the land of new sun, darkness wouldn’t lasts

Because even in the burning loathe and pitch despair
And the collision damage that beyond repair
If  there are hopes still linger in the air,
One’s who forgive, one day shall prevail.

                                     (Surabaya, February 2016)

Tuesday, 9 February 2016

A letter from the future



(GMT + 09:00) 1st August 20XX, JAKARTA, Eastern Nation United Federation
Document Number : PTXY – 722 – 8936745 – 42216 – WWN

            This following document has been reviewed by ENUF Time Travel Intelligence  Section and has been approved to send back to Surabaya, Indonesia 12:12 PM (GMT +07:00), Tuesday, February 9, 2016 into Mr. Ardhika Setyo’s email account. All user who give information refers to gambling, business-related prophecy or anything that caused a major time paradox will be punished under the law of United Nation Time Department.

Hai, hello there my young me. Well, it is really  awkward to call my self. Maybe there are lot of confusion in your head right now. Sadly I cannot tell you all the details, because it strictly controlled by government. but all I can tell you is this : I am you, I am the future of you. Alright… alright, like what I have said earlier, I know there would be lot of confusion and it’s okay. Well anyway, if I’m doing the math correctly, this year must be 2016 right? (I hope I’m right because like we both know, we never have been good at math) Great scott!! 2016!! I can’t believe that time flies so quickly, it hell a lot years way back there!! What’s the hip back then? Overhyped EDM music, Star Wars saga, Pokemon GO? I really miss those old days! If I’m not mistaken you will be turn 23 this year and this year also your last time in uni. Ah yes, college year. Time when I learn about a lot of things for life. Lots of great memories, but also lots of the bad ones too. But that is the inevitable part of growing up. Just don’t give up kid! If not because of your struggling back then, I will not become the person as I am right now. Anyway, as you can see in the header, I now live in the Eastern Nations United Federation, a peaceful combination of all the countries in the eastern hemisphere. After a long time, finally human can learn how to live in peace. There are lot of things has changed in this world since couple decades ago. I remember back then in 2016, Indonesia is a shitty country with a lot of problems. But looking back from now, before the merger of countries into ENUF, the economic growth in Indonesia has grown rapidly and has become one major country with powerful economic power. one of many reason why that happened is because many of us, our generation has become leader for this nation. We’ve succeed overcome our own stigma about the old depressing Indonesia, and transform it into more optimistic point of view. Of course it’s not happen overnight to achieve into that state. But now I’m here, from the future, telling you this : yes you can, the future of this nation is belong to your generation, a young optimistic generation. I wish I could tell you how things going to happen, but it would be against the law. As the time goes by, since more and more people are educated,  tolerance is no longer luxury a few people have. People can be more accepted about diversity as the way as it is. That is how the beginning of the unity of nations.

It took a long time for people to realize but eventually at the end of 20XX The Finland’s nation curriculum has spread throughout the world and has become the standard for education for both ENUF & WNUF. And few years later, ILO make a breakthrough by adopting Danish flexicurity as standard model for worker & labor. Technology is also growing rapidly. No we haven’t flying car yet like what people think about the future in your day. But nowadays car is no longer damaging the environment. The early development of water-fueled car has become so significant for the future since public policies are strictly prohibited the usage of fossil fuel. I’m not an expert on this, but since the incident of Amsterdam’s flood and the downfall of Kellogs, government has commit to decrease the usage of fossil fuel to prevent the rise of global degree more further. In a nutshell, the world I live in now is more humanized and more ecological friendlier than yours. Most of this innovation has been discovered during your era, you live in the pivotal moment in humanity’s development. You and your generation has a power to decide whether this world will be better or worst.

            Well, enough for the world now let’s talk about us. Anyway, I’m doing great with my life right now, having family with a beautiful wife and great kids. I also still doing things I love when I was young; traveling, writing, video games and eating junk food. Talking about video games, this industry became so huge nowadays. The rise of  virtual reality offering a broad new experience for gamers. Last year my wife and I attend the 24th e-sport olimpiade and festival in Tokyo. It was so much fun. It’s funny when I remember back then in my youth days I used to be constantly worrying about lot of stuff. Just keep doing things you believe in kid, and focus on what happen in the present moment and believe me, everything eventually is going to be fine. Of course there would be lot of ups and downs in life, but it’s life and that is how’s life supposed to be right? Oh yeah, I forgot to mention about our wife! all I can tell she’s the most fascinating human being you’ll ever meet. Who’s her? You have to figure it out by yourself! It would be not fair if I tell you right away. But I can assure you, when the time you meet her, you’ll know. Oh boy, I wish I have more time to talk about a lot of things about ourselves, but up until now, time traveling can only send back a little amount of matter & energy. Maybe that’s that my young me, take care there in 2016. Hope you do good!